“Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” ucap Rini (34) sambil menatap tiga sahabatnya — Santi, Laila, dan Desi — di sebuah kafe kecil di Bandung. Dari percakapan ringan itulah, lahir tekad besar: mereka akan menjalani umroh mandiri bersama, tanpa ikut rombongan, tanpa travel.
Keempat sahabat ini sudah berteman sejak kuliah, tapi kesibukan dan kehidupan masing-masing membuat mereka jarang bertemu. Ketika pandemi usai dan kondisi ekonomi mulai stabil, mereka sepakat menunaikan panggilan Allah سبحانه وتعالى dengan cara yang lebih personal. “Kami ingin berangkat tanpa tekanan jadwal, tanpa terburu-buru. Ingin rasain perjalanan yang benar-benar dari hati,” kata Laila.
Awalnya, ide umroh mandiri sempat ditentang keluarga. Orang tua mereka khawatir — apalagi karena semuanya perempuan dan belum pernah berangkat sendiri ke luar negeri. Tapi Rini, yang dikenal paling tekun mencari informasi, meyakinkan semua pihak.
Ia membaca dengan cermat UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh, dan menemukan bahwa pelaksanaan umroh secara mandiri memang diperbolehkan. Syaratnya, jamaah wajib memiliki visa umroh mandiri resmi yang diterbitkan oleh pihak berizin dan terdaftar di bawah pengawasan Kementerian Agama dan Kedutaan Arab Saudi.
“Jadi bukan ilegal, asal semua dokumennya benar,” jelas Rini. Setelah itu, mereka mulai mencari penyedia jual visa umroh mandiri yang legal dan punya reputasi baik. Dalam waktu seminggu, visa mereka sudah beres, dan tiket promo ke Jeddah berhasil dibeli dengan harga terjangkau.
Perjalanan mereka pun dimulai. Begitu tiba di bandara King Abdulaziz, keempat sahabat itu saling menggenggam tangan — gugup, tapi bahagia. “Kita benar-benar di sini, dan semua ini hasil usaha kita sendiri,” kata Santi, menahan air mata.
Mereka memilih hotel di kawasan Misfalah, sekitar 1,5 km dari Masjidil Haram. Karena ingin merasakan atmosfer Makkah secara lebih dekat, mereka sering berjalan kaki menuju masjid, sambil berzikir dan saling menyemangati. “Setiap langkah ke Masjidil Haram itu rasanya seperti langkah menuju ampunan,” ujar Desi dengan mata berbinar.
Meski tanpa pemandu, perjalanan mereka berjalan lancar berkat perencanaan matang. Rini sudah menyiapkan itinerary lengkap: jadwal tawaf, waktu shalat, hingga tempat makan halal yang direkomendasikan jamaah Indonesia di forum daring. Semua detail disusun rapi di spreadsheet bersama.
Salah satu momen paling mengharukan terjadi saat keempatnya tawaf bersama untuk pertama kali. “Kami berempat saling menggandeng tangan, sambil nangis bareng,” kata Laila. “Di tengah lautan manusia itu, kami sadar… Allah سبحانه وتعالى lah yang menyatukan langkah kami ke sini.”
Mereka juga banyak belajar tentang kemandirian dan tanggung jawab. Saat salah satu dari mereka tersesat di area masjid, yang lain tak panik — justru saling menenangkan dan belajar menggunakan fitur peta digital di aplikasi Nusuk. “Umroh mandiri bikin kita sadar bahwa teknologi juga bisa jadi alat ibadah, kalau digunakan dengan niat yang benar,” ujar Rini sambil tertawa.
Ketika berpindah ke Madinah, pengalaman itu semakin mempererat persahabatan mereka. Di Raudhah, mereka saling menuliskan doa satu sama lain di secarik kertas — harapan agar pertemanan mereka selalu dilindungi Allah سبحانه وتعالى. “Kami masuk Raudhah bareng, nangis bareng, dan berdoa agar bisa kembali lagi bersama,” cerita Desi.
Bagi mereka, umroh mandiri bukan sekadar tentang keberanian, tapi tentang kebersamaan. Mereka saling mengingatkan waktu shalat, berbagi air zamzam, dan bergantian jadi “tour leader” kecil. “Kami mungkin tidak punya travel guide, tapi kami punya satu sama lain,” kata Santi tersenyum.
Sepulangnya ke Indonesia, banyak teman dan keluarga yang kagum. “Kok bisa lancar tanpa travel?” tanya mereka. Jawaban Rini sederhana, “Karena kami belajar dulu, memastikan legalitas visa, dan niatnya ibadah. Sekarang banyak penyedia jual visa umroh mandiri yang aman dan terverifikasi, tinggal jamaahnya mau aktif cari tahu atau tidak.”
Pengalaman itu mengubah hidup mereka. Rini jadi lebih sabar, Laila lebih rajin ibadah, Desi mulai rutin mengaji, dan Santi kini aktif mengajak teman-temannya untuk menabung demi umroh. Mereka bahkan membuat akun media sosial bernama Sahabat Umroh Mandiri, tempat berbagi panduan, kisah, dan tips untuk perempuan yang ingin berangkat tanpa travel.
“Banyak banget yang DM nanya cara bikin visa, pilih hotel, sampai tukar uang. Kami senang bisa bantu, apalagi kalau mereka akhirnya berangkat juga,” kata Laila dengan senyum bahagia.
Perjalanan mereka menjadi bukti bahwa perempuan Indonesia mampu — mampu belajar, berencana, dan beribadah dengan penuh tanggung jawab.
Karena di balik setiap langkah mandiri itu, ada tekad, ilmu, dan cinta yang tulus kepada Allah سبحانه وتعالى. Dan mungkin, bagi empat sahabat itu, umroh mandiri bukan hanya perjalanan spiritual, tapi juga perayaan persahabatan yang Allah restui di tanah paling suci di dunia.

